Budaya tulisan telah melampaui sejarah yang panjang dengan sekian
banyak perubahan. Mulai dari piktogram (disebut juga piktograf, yaitu
aksara berupa gambar untuk mengungkapkan amanat tertentu1)
hingga tulisan yang kita kenal sekarang ini. Dari yang memanfaatkan
dinding-dinding gua, lempengan batu-batu, sampai pemanfaatan kertas
tulis. Meski demikian, budaya tulisan kita tidak akan mengalami
perkembangan yang sedemikian pesat bila Gutenberg tidak menciptakan
mesin cetak pada tahun 1455.
Sebelum penemuan mesin cetak, satu-satunya cara untuk memperbanyak
sebuah tulisan ialah dengan menyalinnya. Salinan-salinan yang dihasilkan
itu dinamakan manuskrip, yang berarti 'tulisan tangan'2.
Namun, metode penyalinan seperti itu justru menimbulkan sejumlah
masalah. Pertama, butuh waktu yang lama untuk menyalin sebuah buku.
Menurut Janus (2003)3, pada tahun 1450, dibutuhkan setidaknya
dua bulan untuk menyalin sebuah buku -- tentu saja tergantung ketebalan
buku yang disalin. Kedua, kualitas penyalin tidak selamanya konstan.
Akibatnya, kesalahan dalam penyalinan dapat terjadi. Akhirnya, harga
buku menjadi mahal karena melalui proses kerja yang melelahkan dan
memakan waktu yang lama. Dengan demikian, tidak sembarang orang yang
bisa memiliki buku4.
Menuju Era Mesin Cetak
Mesin cetak Gutenberg terwujud setelah melampaui proses yang cukup
panjang. Pemikiran awal yang ia lakukan ialah dengan memanfaatkan
sepotong balok yang berasal dari kayu yang keras5. Balok ini
dibentuk seukuran halaman buku. Selanjutnya, setiap kata yang tertulis
di halaman sebuah buku dipahat di salah satu sisi balok tersebut sampai
dihasilkan rangkaian kata yang timbul. Bagian tersebut kemudian dicelupi
tinta. Balok tersebut harus ditekan ke lembaran kertas cetak untuk
menghasilkan halaman yang dibutuhkan.
Semula Gutenberg berpikir bahwa cara ini akan lebih baik daripada
sekadar menyalin manuskrip. Namun, ia justru mendapati bahwa cara
seperti ini memakan waktu yang sangat lama karena lempengan kayu
tersebut harus dikerjakan dengan hati-hati. Selain itu, satu balok hanya
dapat mencetak satu halaman tertentu saja.
Meski demikian, Gutenberg mulai berpikir. Bila balok kayu dapat
digunakan untuk membentuk huruf cetak, seharusnya lempengan logam juga
dapat digunakan untuk tujuan serupa. Menurutnya, pemanfaatan logam akan
mempercepat proses reproduksi setelah satu karakter berhasil dibentuk6.
Sejumlah sumber7 menyebutkan bahwa pemikiran Gutenberg
tersebut dimungkinkan mengingat keterlibatan keluarga Gutenberg dalam
pencetakan uang logam. Karena itu, tidak heran bila Gutenberg dapat
memikirkan model pencetakan mulai dari pemanfaatan balok kayu hingga
pemikiran untuk memanfaatkan lempengan logam. Tidak mengherankan pula
bila ia memiliki keahlian dalam pekerjaan yang berkaitan dengan logam.
Semula Gutenberg membangun bengkel kerjanya di Strasbourg (ketika itu masih menjadi bagian dari Jerman, sekarang Perancis)8.
Hal ini ia lakukan karena ia tidak ingin orang lain mengetahui apa yang
ia kerjakan. Ia menemukan runtuhan bangunan tua yang sebelumnya
digunakan oleh para biarawan dan menggunakan salah satu ruangan sebagai
bengkel kerjanya. Namun, tampaknya ia kemudian memindahkan bengkel
kerjanya ke Mainz9 dan berhasil menciptakan mesin cetaknya di kota tersebut.
Meski demikian, Gutenberg masih harus melakukan serangkaian percobaan
lagi untuk membuktikan bahwa mesin cetaknya dapat digunakan. Oleh
karena itu, ia melakukan serangkaian persiapan yang sangat panjang dan
menempuh serangkaian uji coba. Keberhasilan pertamanya ialah mencetak
buku tata bahasa Latin. Diperkirakan sekitar dua lusin edisi Ars Minor,
salah satu bagian dari buku pelajaran tata bahasa Latin Aelius Donatus.
Edisi pertama diperkirakan dicetak antara tahun 1451 dan 145210.
Setelah melakukan serangkaian percobaan termasuk keberhasilannya
mencetak buku pelajaran tata bahasa Latin tersebut, Gutenberg mulai
melangkah lebih jauh lagi. Proyek besar selanjutnya adalah mencetak
Alkitab. Antara tahun 1450 dan 1455, Gutenberg menyelesaikan pencetakan
Alkitabnya11. Adapun versi Alkitab yang dicetak Gutenberg kala itu adalah Alkitab Vulgata, Alkitab bahasa Latin hasil terjemahan Hieronymus12.
Dokumen-dokumen awal menyebutkan, setidaknya 200 kopi dijadwalkan
dicetak di atas kertas katun linen, 30 kopi dicetak di atas kulit hewan.
Alkitab tersebut kemudian dijual seharga 300 florins13,
harga yang jauh lebih murah ketimbang Alkitab yang ditulis dengan
tangan, yang penyalinannya oleh seorang rahib bisa menghabiskan dua
puluh tahun14.
Adapun Alkitab yang dihasilkan oleh mesin cetak Gutenberg merupakan
Alkitab yang sangat indah. Gutenberg mendesain dan membentuk sendiri
keping-keping logam yang akan digunakan untuk mesin cetaknya dengan
huruf-huruf kaligrafi yang indah, ciri khas tulisan Abad Pertengahan15.
Gutenberg dan Johann Fust
Proyek Gutenberg ini merupakan proyek yang sangat besar. Oleh karena
itu, Gutenberg membutuhkan biaya yang sangat besar pula. Untuk mencapai
visinya, Gutenberg menghabiskan seluruh kekayaan yang ia warisi dari
keluarganya. Di tengah kesulitan dana, Gutenberg berhasil meyakinkan
Johann Fust, seorang pedagang kaya (sumber lainnya, lihat catatan nomor
2, menyebutkan bahwa Fust juga seorang pengacara). Pada tahun 1449, Fust
memberikan 800 florins pertama kepada Gutenberg, lalu sejumlah 800
florins lagi pada tahun 1452 dan 145316.
Meski berhasil mencetak Alkitab Vulgata, bahkan menjualnya seharga
300 florins, Gutenberg tetap tidak dapat mengembalikan pinjaman yang
diberikan Fust. Hal ini menyebabkan Fust membawa Gutenberg ke
pengadilan. Kemudian, hakim memutuskan Gutenberg bersalah sehingga mesin
cetak dan Alkitab yang berhasil ia cetak beralih menjadi milik Fust17. Dengan demikian, Gutenberg pun bangkrut dan kehilangan semua jerih payahnya selama ini.
Ketidakmampuan Gutenberg untuk mengembalikan hutangnya itu tampaknya
disebabkan oleh kepribadiannya sebagai seorang yang tidak sabaran.
Kemungkinan Gutenberg harus melakukan begitu banyak percobaan sampai
mesin cetaknya selesai. Dari sekian banyak percobaan yang ia lakukan,
bukan tidak mungkin ia menemukan sekian banyak kegagalan yang tentunya
memakan dana yang besar pula.
Setelah berhasil mengambil alih mesin cetak Gutenberg dan sejumlah
Alkitabnya, Fust melanjutkan bengkel kerja Gutenberg ini. Ia menggaet
Peter Schaeffer, mitra kerja Gutenberg sebelumnya sebagai rekannya18.
Sementara itu, Gutenberg masih melanjutkan pekerjaannya dengan membuka
percetakan. Meski demikian, cetakan yang ia hasilkan berkurang baik dari
segi kuantitas maupun kualitas.
Pengaruh bagi Kekristenan
Satu hal yang jelas, Gutenberg merupakan salah satu orang jenius yang
dipakai oleh Tuhan. Mesin cetak yang dihasilkan oleh Gutenberg
mengambil peranan yang sangat vital dalam penyebaran Alkitab.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, buku merupakan sesuatu yang sangat
mahal. Demikian halnya dengan Alkitab sehingga tidak sembarang orang
bisa memilikinya. Dengan penemuan Gutenberg ini, semua orang dapat
memiliki Alkitab, meskipun masih dalam bahasa Latin. Setidaknya hal ini
sudah memberikan akses kepada masyarakat awam, khususnya yang mengerti
bahasa Latin untuk membaca Alkitab.
Meski terlibat dalam pencetakan surat indulgensi pada masa-masa
berikutnya, ciptaan Gutenberg ini sangat berperan dalam Reformasi.
Bahan-bahan seperti traktat, pamflet, khotbah, maupun Flugschriften
yang ditulis oleh para reformator seperti Martin Luther, Martin Bucer,
John Calvin, termasuk Ulrich Zwingli, dengan mudah dapat diperbanyak19.
Sekali lagi hal ini memudahkan akses masyarakat luas terhadap
kebobrokan gereja selama ini. Sehingga banyak mata yang terbuka dan
mulai melihat kebenaran yang sesungguhnya.
Mesin Cetak di Asia
Meski karya Gutenberg diakui sebagai karya yang luar biasa, ternyata
Gutenberg bukanlah penemu mesin cetak yang pertama. Jauh sebelum
Gutenberg berhasil menciptakan mesin cetak dengan kepingan potongan
logam yang dapat dipindahkan, Chae Yun-eui dari Dinasti Goryeo telah
menciptakan mesin cetak pertama pada tahun 123420. Sedangkan,
perangkat cetak dengan kepingan yang dapat dipindahkan diciptakan
pertama kali di Tiongkok oleh Bi Sheng, antara tahun 1041 -- 104821.
Kehidupan Gutenberg
Tidak banyak informasi yang bisa diperoleh mengenai masa kecil
Gutenberg. Ia dilahirkan antara sekitar tahun 1394 -- 1404. Sebagian
menyebut tahun lahirnya pada tahun 1398. Ayahnya bernama Friele
Gensfleisch zur Laden dan ibunya Else Wirich22. Sebagai anak bangsawan, kemungkinan ia menempuh studi di Universiteit of Erfurt23. Namun, sekali lagi tidak ada bukti otentik bahwa Gutenberg pernah mengenyam studi di sekolah tersebut.
Setelah mengalami kebangkrutan, disebutkan kemudian, kehidupan
Gutenberg belakangan ditopang oleh Keuskupan Mainz sampai akhir
hayatnya. Karena Gutenberg dikenal sebagai seorang peminum -- ia akan
membelanjakan uangnya hanya untuk alkohol, pihak keuskupan memutuskan
untuk memberikan makanan dan tempat tinggal daripada uang24.
Meski demikian, ada sumber lain yang menyebutkan bahwa menjelang akhir hidupnya, Gutenberg bergabung dalam ordo Fransiskan25.
Ia mengabdikan dirinya dalam doa, ketaatan, dan melakukan hal-hal yang
baik. Setelah gagal meraih kesuksesan duniawi, ia beralih mencari
kesuksesan surgawi.
Dalam pandangan Armstrong26, perubahan dalam diri
Gutenberg ini merupakan bukti dari cinta kasih Tuhan. Ia tetap mengasihi
mereka yang Ia karuniai talenta sehingga ketika mereka ini terjerat
dalam dosa, Ia sama sekali tidak membiarkan mereka. Banyak cara yang
bisa Ia lakukan untuk memanggil kembali umatnya, diantaranya melalui
suatu kejatuhan yang menyakitkan.
Berdasarkan sebuah buku yang dicetak setelah kematiannya, disebutkan
bahwa Gutenberg meninggal pada tanggal 3 Februari 1468. Ia kemudian
dimakamkan di sebuah gereja di Saint Frances. Sayangnya gereja itu
kemudian dihancurkan sehingga makamnya tidak dapat ditemukan lagi.
Sumber : http://biokristi.sabda.org/gutenberg_dan_mesin_cetaknya_sebuah_revolusi_dalam_budaya_tulisan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon Kritik dan Saran tentang post ini, Terima Kasih