Hello Everyone Visit My Deviant Art Clicking Here!

Ad 468 X 60

Rabu, 17 April 2013

Carok Simbol Harga Diri Rakyat Madura


Masyarakat Madura dikenal dengan budaya yang khas, unik, dan identitas budayanya itu dianggap sebagai jati diri individual maupun komunal etnik Madura dalam berperilaku dan berkehidupan masyarakat Madura memegang teguh Carok,  Carok adalah ritual pemulihan harga diri ketika diinjak - injak oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta dan wanita. Intinya adalah demi kehormatan. Dalam ungkapan Madura Lebbi Bagus Pate Tollabg atembang Pote Mata. (Lebih baik mati, daripada hidup menanggung malu).


Ada yang menyatakan bahwa carok merupakan akronim dari ungkapan maske kanca elorok, yang artinya walau ternan diserang. Carok merupakan ajaran leluhur yang penuh kearifan. Namun, dengan menarik kesimpulan dari hukum sebab akibat yang diplesetkan oleh orang luar, carok menjadi istilah yang menakutkan sekaligus dijadikan bukti bahwa orang Madura kasar, bengis dan kejam. Bahkan, kaum muda Madura khususnya mereka yang berada di luar Madura merasa bangga dengan carok tersebut bukan karena kandungan kearifan di dalamnya, melainkan karena menganggapnya sebagai sifat keberanian orang Madura. Inilah anggapan yang keliru dalam membaca budaya, karena sikap tersebut menguatkan stigma buruk bagi orang Madura.

Selain itu, media massa juga bernafsu bila memberitakan peristiwa carok. Bahkan, dengan bumbu clurit (senjata khas Madura yang digunakan untuk carok), perkelahian yang diberitakan tersebut akan menjadi tampak lebih nyata dan meyakinkan bahwa orang Madura memiliki sifat keras dan suka kekerasan. Lebih-Iebih lagi, carok telah digunakan sebagai nama untuk menyebut setiap perkelahian yang dilakukan oleh orang Madura dan clurit merupakan kata lain untuk menyebut simbol kekerasan orang Madura. Namun sebenamya apakah carok tersebut? Bagi Madura tidak semua perkelahian yang dilakukan oleh orang Madura dinamakan carok. Carok hanya terjadi karena satu sebab yang dinamakan ghabangan. Dengan demikian, perkelahian yang tidak disebabkan oleh ghabangan tersebut merupakan perkelahian biasa yang lazim terjadi di banyak tempat dan dilakukan oleh setiap bangsa manapun di dunia ini, termasuk di Madura.

Sebenarnya, yang dinamakan ghabangan adalah atap dari tempat tidur tradisional Madura. Namun kemudian, istilah tersebut berubah makna menjadi sebutan untuk tempat tidur itu sendiri dan akhirnya diidentikkan dengan perempuan. Dengan demikian, Carok berkait erat dengan masalah perempuan. Gangguan terhadap ghabangan merupakan gangguan yang sangat sensitif, sebab segala pembicaraan dan perilaku yang paling rahasia dalam keluarga Madura selalu lebih banyak dilakukan di bawah ghabangan. Karena sebab itu pula, masalah perempuan merupakan masalah ghabangan. Bahkan, siapapun yang melecehkan ghabangan, maske kanca elorok (walau teman diserang). Dari ungkapan inilah, muncul kerata bhasa (akronim) carok. Kata ‘rok’ sendiri berasal dari kata Sanskerta yang bermakna perkelahian. Dengan kata lain, siapapun yang mengganggu perempuan milik orang lain akan terjadi carok. Jadi apabila kita perhatikan dengan baik, maka kata carok tersebut merupakan suatu peringatan kepada setiap orang dalam masyarakat orang Madura, yaitu: janganlah sekali-kali mengganggu ghabangan milik orang. Kalau peringatan ini dilanggar, walau pengganggu tersebut ternan sendiri, pasti akan diserang. Karena itu, apabila sudah memahami makna kata carok tersebut, pasti tidak akan pemah terjadi pelanggaran- pelanggaran susila, khususnya terhadap ghabangan. Dengan peringatan keras seperti carok tersebut, dalam waktu relatif lama Madura terhindar dari masalah kumpul kebo, sebab hal tersebut termasuk masalah ghabangan. Kalaupun dilakukan oleh orang Madura, tetapi tidak mungkin hal tersebut dilakukan di Madura. Namun, walaupun peringatan keras lewat maske kanca elorok tersebut, tidak berarti di Madura tidak ada pelanggaran ghabangan. Sesekali muncul perkelahian yang berindikasikan carok. Itu pula kemudian kata carok menjadi nama setiap perkelahian yang disebabkan oleh ghabangan. Bahkan untuk memberi kesan halus, carok dikatakan aghaja’ (bergurau). Namun akhirnya, orang luar menyebut carok sebagai penyelesaian konflik dengan kekerasan.

Carok dilakukan dengan atau tidak menggunakan senjata. Bila menggunakan senjata biasanya selalu mendatangkan korban. Carok juga bisa dilakukan satu lawan satu, tetapi bisa juga dilakukan secara massal. Bila carok telah berlangsung secara massal, persoalannya menjadi rumit. Sebab masing-masing pelaku carok (mereka yang mengganggu dan yang terganggu) sama-sama mengatasnamakan demi harga diri. Kalaupun ada perkelahian yang dilakukan Orang Madura dan bukan disebabkan oleh masalah ghabangan juga dikatakan Carok, maka ada dua kemungkinan, yaitu: a) pergeseran budaya bergeser; atau b) penyebutan yang salah kaprah. Sebab bagaimanapun, budaya tak mungkin berubah karena hanya orang lain tidak menyukainya.
Karena itu, carok bukan masalah ambisi dari laki-laki Madura yang egois, seperti yang disebut-sebut di media, atau juga penyelesaian konflik dengan kekerasan. Untuk itu, carok harus dilihat pula dari sisi sebab. Demikian peliknya masalah carok, pro dan kontra tumbuh di luar Madura maupun di Madura sendiri. Pikiran untuk menggali asal-usulnya berjalan lamban dan makna makin kabur dari generasi ke generasi, karena masing-masing membuat tafsir sendiri-sendiri. Secara apatis, pihak yang kontra menyatakan bahwa carok merupakan sifat kekerasan orang Madura yang sehari-harinya makan singkong dan jagung. Namun, pihak yang masih ingat martabat mengatakan: “Sayangilah anak cucumu! Kalau engkau tidak melawan (melakukan carok) kelak mereka akan disebut keturunan dari laki-laki yang tidak mempunyai empedu”. Inilah ungkapan manis seorang penyair. Bahkan di lain tempat, ada yang berlebihan dalam menempatkan carok, seperti dalam ungkapan Oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembi’ (Laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan) dan “Mon lo’ bangal acarok ja’ ngako oreng Madhura (Kalau tidak berani melakukan carok, jangan mengaku orang Madura).

Masih dari sumber penulis, bahwa pada masa lalu, carok bisa dilakukan secara massal. Artinya, setiap keluarga famili pelaku carok akan terlibat, termasuk ternak-ternak dan tanaman mereka menjadi tumpahan amarah. Semuanya akan terbabat habis, sehingga setelah carok massal tersebut berakhir, suasana terasa seperti baru selesai pertempuran yang dahsyat. Hal ini terakhir kali terjadi di desa Tebul Timur yang elorok dari desa Plakpak sama-sama di wilayah kecamatan Pegantenan, kabupaten Pamekasan pada tahun 1951. Pihak yang bertarung termasuk perempuan yang menggunakan celana tanpa pakaian atas dengan rambut terurai dan ditempatkan di bagian depan. Dengan demikian, pihak perempuan pun bisa dilibatkan dalam carok demi martabat. Carok massal bisa terjadi antar kampung, apabila dalam suatu perkampungan terdiri dalam satu marga atau diikat dalam kekerabatan. Bagi mereka yang tidak memiliki kekerabatan dengan pelaku carok, segera menutup pintu rumah rapat-rapat. Sebab, bila ada pelaku carok memasuki rumah dengan maksud berlindung. maka pihak lawan menganggap pemilik rumah tersebut sebagai musuhnya pula, sehingga jika terjadi penyerangan terhadap pemilik rumah, maka implikasi peristiwa carok menjadi semakin meluas.

Dari sisi ini, carok dipandang membela adat serta menghormati martabat dan budaya Madura. Pelanggar adat yang membangkitkan carok cenderung berperilaku dan bermartabat hewani. Sementara, carok lebih banyak terkait dengan masalah moral. Karena itu pula, pelakunya tidak bisa ditakuti dengan ancaman hukuman ke Nusa Kambangan, sebagaimana yang telah dilakukan pihak kepolisian di Pamekasan dengan memancangkan baliho di mana-mana pada era 1960-an. Pelaku carok yang mengatasnamakan demi martabat dan adat tradisi tidak takut akan segala bentuk hukuman. Namun tak bisa dipungkiri, jika Carok mendatangkan sikap pro dan kontra dengan bertambah majunya pikiran manusia Madura. Semua itu menjadi counter wacana bagi carok, apakah tradisi masa silam ini masih perlu dipertahankan atau tidak dalam makna kumpul kebo?
Melihat carok ini berasal masalah moral, apakah moral masyarakat orang Madura termasuk panutannya, yaitu pemimpin Madura, baik formal maupun non formal sudah siap menegakkan moralitas masing-masing? Pertanyaan tersebut juga menyangkut wilayah moral. Bahkan, bilamana ada yang mengatakan bahwa keberhasilan ulama dan umara’ dalam membina masyarakat Madura hanya sedikit. tentu yang dimaksud terkait dengan masalah carok. Ulama (baca : kiai = keyae) dalam beberapa perilakunya sering melakukan jaza’ bagi mereka yang mau berangkat carok, yaitu pengisian mantra-mantra atau jampi-jampi ke badan calon pelaku carok. Sedangkan di pihak umara’ dikesankan ada cara nabiing yang populer sebagai usaha suap-menyuap kepada pengendali hukum. Jaza maupun nabang sangat tidak mendukung untuk menghentikan budaya carok yang bertitik tolak pada harga diri. Bahkan dengan perilaku nabang yang identik dengan suap ini cenderung tidak lagi bisa memberi perlindungan kepada pihak terpidana, sebab cara nabang sering dilakukan sebagai usaha mencari kesempatan mendekati nara pidana untuk dapat membalas dendam.

Pada hakikatnya, cara nabang inilah yang menyebabkan carok kemudian berdasar kepada balas dendam. Anggapan tersebut sudah berkembang sedemikian rupa, sehingga orang luar menyangkal bahwa carok bukan hanya masalah ghabangan semata sebagai penyebab utama. Memang carok yang berkelanjutan, termasuk yang disebabkan balas dendam dari berbagai oknum pelaku yang masih kerabat dari pelaku carok pertama, sering melibatkan oknum tertentu di kalangan masyarakat maupun para panutan Madura sendiri untuk bisa masuk memenuhi hajatnya demi balas dendam. Apabila carok kemudian bernuansa balas dendam, maka sejak saat itlliah berlaku ungkapan bahwa: carok tadha’ baruyya. Maksudnya, bila telah terbuka balas dendam yang pertama akan disusul dengan balas dendam berikutnya dan terjadilah secara kronologis bagaikan kutukan keris Mpu Gandring yang melalap keturunan Tunggul Ametung dan keturunan Ken Arok. Namun saat ini, yang perlu kita pahami ialah bahwa kata carok itu sendiri sudah merupakan peringatan keras. Carok hanya bersumber dari satu sebab yaitu masalah ghabangan. Dengan demikian, perkelahian yang dilakukan orang Madura dari bukan sebab tersebut bukanlah carok, walaupun menggunakan senjata dan jatuh korban. Tentu saja, pemahaman ini berdasarkan makna budaya, bukan berdasarkan asas hukum yang menyebabkan korban diancam oleh KUHP.

Carok adalah institusionalisasi kekerasan dalam masyarakat Madura yang memiliki relasi sangat kuat dengan faktor-faktor struktur budaya, struktur sosial, kondisi sosial ekonomi, agama maupun pendidikan yang terfokus pada satukalimat maske kanca elorok. Adapun cara yang paling efektif untuk memperkecil kemungkinan terjadinya carok adalah berangkat dari tiap keluarga melalui dakwah agama dan percontohan perilaku yang mengarah pada penghormatan atas hak dan kewajiban tiap pribadi kepada generasi kita dari ulama dan umara’ kita di Madura.

Pada tahun 1953, terjadi pembunuhan dengan cara nyelep (menusuk dari belakang) ala Bangkalan di lapangan depan pendopo kabupaten Pamekasan. saat itu, banyak orang berkerumun sedang menonton dan mendengar penjual obat dengan sulapnya. Seorang narapidana yang baru saja mendapat kebebasan bisa keluar dari selnya juga berada di situ bersama dengan beberapa orang sesama narapidana. Rupanya mereka memperoleh ijin yang sangat istimewa untuk istirahat di tempat tersebut sambil ikut menonton si penjual obat. Polisi penjara yang mengawalnya juga ada di situ. Saat orang-orang asyik menonton sulap, sebuah teriakan terdengar. Temyata, narapidana yang baru beberapa hari mendapat kebebasan berada di luar selnya yang sempit tersebut telah jatuh tersungkur berlumuran darah. Dia langsung tewas di TKP dengan todhi’ pangabisan (pisau penghabisan) telah menancap dari punggung dan ujungnya keluar di bagian dada depan. Tembusan pisau yang demikian pertanda bahwa pisau yang berjenis “penghabisan” tersebut benar-benar telah dihunjamkan dengan sangat kuat. Ternyata kebebasannya tersebut hasil nabang keluarga lawannya yang ia bunuh. Rupanya pihak pemangku wasiat carok, yaitu anak si terbunuh, tidak tahan lagi menunggu sepuluh tahun (masa hukuman dari terpidana) untuk membalas dendam. Maka, dilakukan usaha agar bisa mempercepat terjadinya balas dendam, yaitu nabang. Saat ini, tudingan bagi orang Madura yang kasar, sulit diatur, haus darah rupanya sudah mulai berubah. Sebab, budaya anarkis telah menjadi dasar bertindak bagi hampir semua kalangan, baik awam maupun calon intelektual, sehingga tidak sedikit pagar kantor bupati dan DPRD yang remuk, kampus berantakan, polisi dan mahasiswa banyak terbaring di rumah sakit. Semua itu tidak hanya terjadi di Madura, namun merata di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Menurut pengamat masalah moral, anak bangsa lagi sakit. Senada dengan pendapat tersebut, seorang budayawan yang menyampaikan pandangannya di salah satu stasiun televisi mengatakan bahwa pada hakikatnya, bangsa ini memang bangsa yang bertemperamen tinggi. Terbukti dengan banyaknya lambang daerah yang memampang senjata dan dalam beberapa pementasan budaya selalu atau seringkali dipertontonkan tari perang yang menjadi ciri khas masing-masing daerah. Karena itu, sang budayawan tersebut menyarankan agar mengganti semua hal yang mengarah kepada pengertian bertemperamen tinggi tersebut. Namun, yang demikian itu tentu sulit diwujudkan. Seperti kata carok di Madura misalnya. Dengan maknanya yang mengingatkan setiap orang agar tidak mengganggu milik orang lain, makna tersebut mengingatkan orang Madura untuk berpikir ulang jika ingin melakukan kumpul kebo, walaupun di tempat lain perbuatan yang amoral tersebut dipandang suatu tindakan yang biasa atau halal-halal saja.

Sebuah ungkapan yang kedengarannya bagus, namun sudah menyimpang dari ajaran leluhur, yaitu bahwa munculnya carok karena penodaan terhadap harga diri. Menurut mereka, harga diri merupakan titik tolak mengapa mereka melakukan carok. Harga diri dijadikan titik tolak kekerasan dan semua perkelahian yang dilakukan oleh orang Madura disebut carok. Harga diri sudah dijadikan kambing hitam. Padahal, ada istilah lain di Madura yang menunjukkan adanya konflik fisik yang disebut tokar. Tokar sangat beda dengan carok, walaupun kedua-duanya merupakan bentuk konflik fisik dan menurut hukum Negara, keduanya merupakan gangguan terhadap stabilias keamanan. Karena itulah. apabila ada paneliti tentang carok memulai penelitiannya dari kantor polisi, maka makna carok tak lebih dari gangguan keamanan. Tetapi carok adalah salah satu bagian dari budaya Madura yang disimpulkan oleh leluhur dari pemikiran hukum sebab akibat. Karena itu, penelitiannya harus di!akukan di akar rumput pemilik (budaya) nya.

Motivasi, tokar dan carok sangatlah berbeda. Sebagaimana telah disebutkan di atas, carok terjadi hanyalah dengan satu sebab yaitu ghabangan. Kemudian, ghabangan diidentikkan dengan istri atau tunangan. Dengan demikian, siapapun yang mengganggu ghabangan akan berhadapan dengan pemiliknya, baik perorangan maupun melibatkan semua famili dalam bentuk carok massal. Bahkan, bila pelaku tidak mampu menghadapi pengganggu istri atau tunangannya, nyelep pun bisa dibenarkan dalam tradisi carok. Dalam cerminan perilaku manusia, dan perilaku manusia ini sangat diperlukan dalam memajukan diri, masyarakat dan bangsa. Karena itu, pembinaan budi pekerti merupakan hal yang sangat penting. Dalam etnik Madura, para leluhur Madura telah menyiapkan ungkapan-ungkapan, seperti ungkapan yang terdengar melalui pantun, sendhelan, si’ir atau dongeng-dongeng yang merupakan cerita karya sastra lisan Madura.

Sumber : http://jawatimuran.wordpress.com/2011/11/15/carok-harga-diri-dalam-keluarga-madura-tradisional/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon Kritik dan Saran tentang post ini, Terima Kasih