Masyarakat Madura dikenal dengan budaya yang khas, unik, dan identitas budayanya itu dianggap sebagai jati diri individual maupun komunal etnik Madura dalam berperilaku dan berkehidupan masyarakat Madura memegang teguh Carok, Carok adalah ritual pemulihan harga diri ketika diinjak - injak oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta dan wanita. Intinya adalah demi kehormatan. Dalam ungkapan Madura Lebbi Bagus Pate Tollabg atembang Pote Mata. (Lebih baik mati, daripada hidup menanggung malu).
Ada yang menyatakan bahwa carok merupakan akronim dari ungkapan maske
kanca elorok, yang artinya walau ternan diserang. Carok merupakan
ajaran leluhur yang penuh kearifan. Namun, dengan menarik kesimpulan
dari hukum sebab akibat yang diplesetkan oleh orang luar, carok menjadi
istilah yang menakutkan sekaligus dijadikan bukti bahwa orang Madura
kasar, bengis dan kejam. Bahkan, kaum muda Madura khususnya mereka yang
berada di luar Madura merasa bangga dengan carok tersebut bukan karena
kandungan kearifan di dalamnya, melainkan karena menganggapnya sebagai
sifat keberanian orang Madura. Inilah anggapan yang keliru dalam membaca
budaya, karena sikap tersebut menguatkan stigma buruk bagi orang
Madura.
Selain itu, media massa juga bernafsu bila memberitakan peristiwa
carok. Bahkan, dengan bumbu clurit (senjata khas Madura yang digunakan
untuk carok), perkelahian yang diberitakan tersebut akan menjadi tampak
lebih nyata dan meyakinkan bahwa orang Madura memiliki sifat keras dan
suka kekerasan. Lebih-Iebih lagi, carok telah digunakan sebagai nama
untuk menyebut setiap perkelahian yang dilakukan oleh orang Madura dan
clurit merupakan kata lain untuk menyebut simbol kekerasan orang Madura.
Namun sebenamya apakah carok tersebut? Bagi Madura tidak semua
perkelahian yang dilakukan oleh orang Madura dinamakan carok. Carok
hanya terjadi karena satu sebab yang dinamakan ghabangan. Dengan demikian, perkelahian yang tidak disebabkan oleh ghabangan
tersebut merupakan perkelahian biasa yang lazim terjadi di banyak
tempat dan dilakukan oleh setiap bangsa manapun di dunia ini, termasuk
di Madura.
Sebenarnya, yang dinamakan ghabangan adalah atap dari tempat
tidur tradisional Madura. Namun kemudian, istilah tersebut berubah
makna menjadi sebutan untuk tempat tidur itu sendiri dan akhirnya
diidentikkan dengan perempuan. Dengan demikian, Carok berkait erat
dengan masalah perempuan. Gangguan terhadap ghabangan merupakan
gangguan yang sangat sensitif, sebab segala pembicaraan dan perilaku
yang paling rahasia dalam keluarga Madura selalu lebih banyak dilakukan
di bawah ghabangan. Karena sebab itu pula, masalah perempuan merupakan masalah ghabangan. Bahkan, siapapun yang melecehkan ghabangan, maske kanca elorok
(walau teman diserang). Dari ungkapan inilah, muncul kerata bhasa
(akronim) carok. Kata ‘rok’ sendiri berasal dari kata Sanskerta yang
bermakna perkelahian. Dengan kata lain, siapapun yang mengganggu
perempuan milik orang lain akan terjadi carok. Jadi apabila kita
perhatikan dengan baik, maka kata carok tersebut merupakan suatu
peringatan kepada setiap orang dalam masyarakat orang Madura, yaitu:
janganlah sekali-kali mengganggu ghabangan milik orang. Kalau
peringatan ini dilanggar, walau pengganggu tersebut ternan sendiri,
pasti akan diserang. Karena itu, apabila sudah memahami makna kata carok
tersebut, pasti tidak akan pemah terjadi pelanggaran- pelanggaran
susila, khususnya terhadap ghabangan. Dengan peringatan keras seperti
carok tersebut, dalam waktu relatif lama Madura terhindar dari masalah
kumpul kebo, sebab hal tersebut termasuk masalah ghabangan.
Kalaupun dilakukan oleh orang Madura, tetapi tidak mungkin hal tersebut
dilakukan di Madura. Namun, walaupun peringatan keras lewat maske kanca
elorok tersebut, tidak berarti di Madura tidak ada pelanggaran ghabangan.
Sesekali muncul perkelahian yang berindikasikan carok. Itu pula
kemudian kata carok menjadi nama setiap perkelahian yang disebabkan oleh
ghabangan. Bahkan untuk memberi kesan halus, carok dikatakan aghaja’ (bergurau). Namun akhirnya, orang luar menyebut carok sebagai penyelesaian konflik dengan kekerasan.
Carok dilakukan dengan atau tidak menggunakan senjata. Bila
menggunakan senjata biasanya selalu mendatangkan korban. Carok juga bisa
dilakukan satu lawan satu, tetapi bisa juga dilakukan secara massal.
Bila carok telah berlangsung secara massal, persoalannya menjadi rumit.
Sebab masing-masing pelaku carok (mereka yang mengganggu dan yang
terganggu) sama-sama mengatasnamakan demi harga diri. Kalaupun ada
perkelahian yang dilakukan Orang Madura dan bukan disebabkan oleh
masalah ghabangan juga dikatakan Carok, maka ada dua
kemungkinan, yaitu: a) pergeseran budaya bergeser; atau b) penyebutan
yang salah kaprah. Sebab bagaimanapun, budaya tak mungkin berubah karena
hanya orang lain tidak menyukainya.
Karena itu, carok bukan masalah ambisi dari laki-laki Madura yang
egois, seperti yang disebut-sebut di media, atau juga penyelesaian
konflik dengan kekerasan. Untuk itu, carok harus dilihat pula dari sisi
sebab. Demikian peliknya masalah carok, pro dan kontra tumbuh di luar
Madura maupun di Madura sendiri. Pikiran untuk menggali asal-usulnya
berjalan lamban dan makna makin kabur dari generasi ke generasi, karena
masing-masing membuat tafsir sendiri-sendiri. Secara apatis, pihak yang
kontra menyatakan bahwa carok merupakan sifat kekerasan orang Madura
yang sehari-harinya makan singkong dan jagung. Namun, pihak yang masih
ingat martabat mengatakan: “Sayangilah anak cucumu! Kalau engkau tidak
melawan (melakukan carok) kelak mereka akan disebut keturunan dari
laki-laki yang tidak mempunyai empedu”. Inilah ungkapan manis seorang
penyair. Bahkan di lain tempat, ada yang berlebihan dalam menempatkan
carok, seperti dalam ungkapan Oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate
arembi’ (Laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan)
dan “Mon lo’ bangal acarok ja’ ngako oreng Madhura (Kalau tidak berani
melakukan carok, jangan mengaku orang Madura).
Masih dari sumber penulis, bahwa pada masa lalu, carok bisa dilakukan
secara massal. Artinya, setiap keluarga famili pelaku carok akan
terlibat, termasuk ternak-ternak dan tanaman mereka menjadi tumpahan
amarah. Semuanya akan terbabat habis, sehingga setelah carok massal
tersebut berakhir, suasana terasa seperti baru selesai pertempuran yang
dahsyat. Hal ini terakhir kali terjadi di desa Tebul Timur yang elorok
dari desa Plakpak sama-sama di wilayah kecamatan Pegantenan, kabupaten
Pamekasan pada tahun 1951. Pihak yang bertarung termasuk perempuan yang
menggunakan celana tanpa pakaian atas dengan rambut terurai dan
ditempatkan di bagian depan. Dengan demikian, pihak perempuan pun bisa
dilibatkan dalam carok demi martabat. Carok massal bisa terjadi antar
kampung, apabila dalam suatu perkampungan terdiri dalam satu marga atau
diikat dalam kekerabatan. Bagi mereka yang tidak memiliki kekerabatan
dengan pelaku carok, segera menutup pintu rumah rapat-rapat. Sebab, bila
ada pelaku carok memasuki rumah dengan maksud berlindung. maka pihak
lawan menganggap pemilik rumah tersebut sebagai musuhnya pula, sehingga
jika terjadi penyerangan terhadap pemilik rumah, maka implikasi
peristiwa carok menjadi semakin meluas.
Dari sisi ini, carok dipandang membela adat serta menghormati
martabat dan budaya Madura. Pelanggar adat yang membangkitkan carok
cenderung berperilaku dan bermartabat hewani. Sementara, carok lebih
banyak terkait dengan masalah moral. Karena itu pula, pelakunya tidak
bisa ditakuti dengan ancaman hukuman ke Nusa Kambangan, sebagaimana yang
telah dilakukan pihak kepolisian di Pamekasan dengan memancangkan
baliho di mana-mana pada era 1960-an. Pelaku carok yang mengatasnamakan
demi martabat dan adat tradisi tidak takut akan segala bentuk hukuman.
Namun tak bisa dipungkiri, jika Carok mendatangkan sikap pro dan kontra
dengan bertambah majunya pikiran manusia Madura. Semua itu menjadi
counter wacana bagi carok, apakah tradisi masa silam ini masih perlu
dipertahankan atau tidak dalam makna kumpul kebo?
Melihat carok ini berasal masalah moral, apakah moral masyarakat
orang Madura termasuk panutannya, yaitu pemimpin Madura, baik formal
maupun non formal sudah siap menegakkan moralitas masing-masing?
Pertanyaan tersebut juga menyangkut wilayah moral. Bahkan, bilamana ada
yang mengatakan bahwa keberhasilan ulama dan umara’ dalam membina
masyarakat Madura hanya sedikit. tentu yang dimaksud terkait dengan
masalah carok. Ulama (baca : kiai = keyae) dalam beberapa perilakunya
sering melakukan jaza’ bagi mereka yang mau berangkat carok, yaitu
pengisian mantra-mantra atau jampi-jampi ke badan calon pelaku carok.
Sedangkan di pihak umara’ dikesankan ada cara nabiing yang populer
sebagai usaha suap-menyuap kepada pengendali hukum. Jaza maupun nabang
sangat tidak mendukung untuk menghentikan budaya carok yang bertitik
tolak pada harga diri. Bahkan dengan perilaku nabang yang identik dengan
suap ini cenderung tidak lagi bisa memberi perlindungan kepada pihak
terpidana, sebab cara nabang sering dilakukan sebagai usaha mencari
kesempatan mendekati nara pidana untuk dapat membalas dendam.
Pada hakikatnya, cara nabang inilah yang menyebabkan carok kemudian
berdasar kepada balas dendam. Anggapan tersebut sudah berkembang
sedemikian rupa, sehingga orang luar menyangkal bahwa carok bukan hanya
masalah ghabangan semata sebagai penyebab utama. Memang carok yang
berkelanjutan, termasuk yang disebabkan balas dendam dari berbagai oknum
pelaku yang masih kerabat dari pelaku carok pertama, sering melibatkan
oknum tertentu di kalangan masyarakat maupun para panutan Madura sendiri
untuk bisa masuk memenuhi hajatnya demi balas dendam. Apabila carok
kemudian bernuansa balas dendam, maka sejak saat itlliah berlaku
ungkapan bahwa: carok tadha’ baruyya. Maksudnya, bila telah terbuka
balas dendam yang pertama akan disusul dengan balas dendam berikutnya
dan terjadilah secara kronologis bagaikan kutukan keris Mpu Gandring
yang melalap keturunan Tunggul Ametung dan keturunan Ken Arok. Namun
saat ini, yang perlu kita pahami ialah bahwa kata carok itu sendiri
sudah merupakan peringatan keras. Carok hanya bersumber dari satu sebab
yaitu masalah ghabangan. Dengan demikian, perkelahian yang
dilakukan orang Madura dari bukan sebab tersebut bukanlah carok,
walaupun menggunakan senjata dan jatuh korban. Tentu saja, pemahaman ini
berdasarkan makna budaya, bukan berdasarkan asas hukum yang menyebabkan
korban diancam oleh KUHP.
Carok adalah institusionalisasi kekerasan dalam masyarakat Madura
yang memiliki relasi sangat kuat dengan faktor-faktor struktur budaya,
struktur sosial, kondisi sosial ekonomi, agama maupun pendidikan yang
terfokus pada satukalimat maske kanca elorok. Adapun cara yang paling
efektif untuk memperkecil kemungkinan terjadinya carok adalah berangkat
dari tiap keluarga melalui dakwah agama dan percontohan perilaku yang
mengarah pada penghormatan atas hak dan kewajiban tiap pribadi kepada
generasi kita dari ulama dan umara’ kita di Madura.
Pada tahun 1953, terjadi pembunuhan dengan cara nyelep (menusuk dari
belakang) ala Bangkalan di lapangan depan pendopo kabupaten Pamekasan.
saat itu, banyak orang berkerumun sedang menonton dan mendengar penjual
obat dengan sulapnya. Seorang narapidana yang baru saja mendapat
kebebasan bisa keluar dari selnya juga berada di situ bersama dengan
beberapa orang sesama narapidana. Rupanya mereka memperoleh ijin yang
sangat istimewa untuk istirahat di tempat tersebut sambil ikut menonton
si penjual obat. Polisi penjara yang mengawalnya juga ada di situ. Saat
orang-orang asyik menonton sulap, sebuah teriakan terdengar. Temyata,
narapidana yang baru beberapa hari mendapat kebebasan berada di luar
selnya yang sempit tersebut telah jatuh tersungkur berlumuran darah. Dia
langsung tewas di TKP dengan todhi’ pangabisan (pisau penghabisan)
telah menancap dari punggung dan ujungnya keluar di bagian dada depan.
Tembusan pisau yang demikian pertanda bahwa pisau yang berjenis
“penghabisan” tersebut benar-benar telah dihunjamkan dengan sangat kuat.
Ternyata kebebasannya tersebut hasil nabang keluarga lawannya yang ia
bunuh. Rupanya pihak pemangku wasiat carok, yaitu anak si terbunuh,
tidak tahan lagi menunggu sepuluh tahun (masa hukuman dari terpidana)
untuk membalas dendam. Maka, dilakukan usaha agar bisa mempercepat
terjadinya balas dendam, yaitu nabang. Saat ini, tudingan bagi orang
Madura yang kasar, sulit diatur, haus darah rupanya sudah mulai berubah.
Sebab, budaya anarkis telah menjadi dasar bertindak bagi hampir semua
kalangan, baik awam maupun calon intelektual, sehingga tidak sedikit
pagar kantor bupati dan DPRD yang remuk, kampus berantakan, polisi dan
mahasiswa banyak terbaring di rumah sakit. Semua itu tidak hanya terjadi
di Madura, namun merata di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Menurut pengamat masalah moral, anak bangsa lagi sakit. Senada dengan
pendapat tersebut, seorang budayawan yang menyampaikan pandangannya di
salah satu stasiun televisi mengatakan bahwa pada hakikatnya, bangsa ini
memang bangsa yang bertemperamen tinggi. Terbukti dengan banyaknya
lambang daerah yang memampang senjata dan dalam beberapa pementasan
budaya selalu atau seringkali dipertontonkan tari perang yang menjadi
ciri khas masing-masing daerah. Karena itu, sang budayawan tersebut
menyarankan agar mengganti semua hal yang mengarah kepada pengertian
bertemperamen tinggi tersebut. Namun, yang demikian itu tentu sulit
diwujudkan. Seperti kata carok di Madura misalnya. Dengan maknanya yang
mengingatkan setiap orang agar tidak mengganggu milik orang lain, makna
tersebut mengingatkan orang Madura untuk berpikir ulang jika ingin
melakukan kumpul kebo, walaupun di tempat lain perbuatan yang amoral
tersebut dipandang suatu tindakan yang biasa atau halal-halal saja.
Sebuah ungkapan yang kedengarannya bagus, namun sudah menyimpang dari
ajaran leluhur, yaitu bahwa munculnya carok karena penodaan terhadap
harga diri. Menurut mereka, harga diri merupakan titik tolak mengapa
mereka melakukan carok. Harga diri dijadikan titik tolak kekerasan dan
semua perkelahian yang dilakukan oleh orang Madura disebut carok. Harga
diri sudah dijadikan kambing hitam. Padahal, ada istilah lain di Madura
yang menunjukkan adanya konflik fisik yang disebut tokar. Tokar sangat
beda dengan carok, walaupun kedua-duanya merupakan bentuk konflik fisik
dan menurut hukum Negara, keduanya merupakan gangguan terhadap stabilias
keamanan. Karena itulah. apabila ada paneliti tentang carok memulai
penelitiannya dari kantor polisi, maka makna carok tak lebih dari
gangguan keamanan. Tetapi carok adalah salah satu bagian dari budaya
Madura yang disimpulkan oleh leluhur dari pemikiran hukum sebab akibat.
Karena itu, penelitiannya harus di!akukan di akar rumput pemilik
(budaya) nya.
Motivasi, tokar dan carok sangatlah berbeda. Sebagaimana telah
disebutkan di atas, carok terjadi hanyalah dengan satu sebab yaitu ghabangan. Kemudian, ghabangan diidentikkan dengan istri atau tunangan. Dengan demikian, siapapun yang mengganggu ghabangan
akan berhadapan dengan pemiliknya, baik perorangan maupun melibatkan
semua famili dalam bentuk carok massal. Bahkan, bila pelaku tidak mampu
menghadapi pengganggu istri atau tunangannya, nyelep pun bisa dibenarkan
dalam tradisi carok. Dalam cerminan perilaku manusia, dan perilaku
manusia ini sangat diperlukan dalam memajukan diri, masyarakat dan
bangsa. Karena itu, pembinaan budi pekerti merupakan hal yang sangat
penting. Dalam etnik Madura, para leluhur Madura telah menyiapkan
ungkapan-ungkapan, seperti ungkapan yang terdengar melalui pantun,
sendhelan, si’ir atau dongeng-dongeng yang merupakan cerita karya sastra
lisan Madura.
Sumber : http://jawatimuran.wordpress.com/2011/11/15/carok-harga-diri-dalam-keluarga-madura-tradisional/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon Kritik dan Saran tentang post ini, Terima Kasih